Minggu, 16 Desember 2012

Lumpuhnya Parpol

KOMPAS, Selasa 2 oktober 2012 Oleh Arie Sujito Lengkap sudah jawaban atas sinyalemen yang berkembang sejauh ini bahwa partai politik tengah mengalami kelumpuhan akut. Selama lebih dari satu dekade sejak Reformasi, publik begitu risau atas ingar-bingar dan kontroversi terkait sepak terjang parpol. Kekecewaan demi kekecewaan bermunculan terkait perilaku parpol yang dinilai buruk. Kasus korupsi, oligarki, konflik dan kekerasan, sengketa hukum, pencitraan, serta ragam masalah sejenis akhirnya mendangkalkan peran institusi demokrasi ini. Peristiwa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang baru saja usai jadi bukti pelengkap betapa parpol mengalami krisis fungsi. Terbukti, perolehan jumlah kursi di parlemen tidak berbanding lurus dengan perolehan suara di pilkada. Sarana pembelajaran Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa parpol tak lagi efektif. Bahkan, layak dikatakan gagal sebagai mesin mobilisasi suara dalam peristiwa pilkada. Begitu banyak pengalaman berharga layak dikutip untuk dijadikan pembelajaran dari peristiwa Pilkada DKI Jakarta. Pertama, parpol hanyalah institusi politik formal; sekadar menggenggam otoritas administratif dalam pemilu. Selama ini, UU Pemilu memberikan penegasan besaran kewenangan parpol sebagai penentu upaya meraih kuasa formal di eksekutif ataupun legislatif. Namun, kewenangan besar itu tak diikuti oleh kapasitas lembaga politik tersebut dalam menjalankan fungsi representasinya. Politisi gagal mengelola parpol secara modern bahkan asal-asalan. Selain berpola oligarkis, manajemen yang buruk dan korup, kapasitas SDM politisi yang tidak memadai, serta sistem kaderisasi di bawah bayang-bayang feodalisasi dan klientilisme, parpol disibukkan hal-hal pragmatis yang tak ada hubungannya dengan pembangunan sistem politik modern. Akibatnya, tak ada energi dan komitmen parpol untuk mereformasi dirinya. Kedua, figur kandidat cenderung jadi preferensi utama dalam menentukan sikap pemilih, dengan keragaman ukuran. Akumulasi kekecewaan masyarakat yang tak direspons parpol melahirkan beberapa pilihan. Di satu sisi ada golput dan apatisme, di sisi lain menyiasati dengan cara baru. Model menyiasati ini, misalnya, dengan memilih calon independen sebagai alternatif keluar dari sengkarut parpol. Keberhasilan Faisal-Biem mengantongi 5 persen suara pemilih mengalahkan parpol besar dan menengah lebih karena faktor kefiguran dan kerja tim suksesnya. Mereka meyakinkan pemilih yang kecewa pada parpol dan menjaringnya agar tidak golput. Demikian halnya dengan strategi berkompromi, yakni tetap masuk dalam arena politik parpol, tetapi dengan mendukung berdasarkan figur. Fenomena Jokowi-Basuki, sekalipun hanya didukung dua parpol dan dikepung parpol-parpol besar dan menengah, tetapi kefiguran dan rekam jejak yang melekat pada kandidat dianggap simbol perubahan, mampu meraih simpati pemilih. Ketiga, ideologi politik ber- transformasi dan berkembang bukan pada parpol, tetapi justru pada pemilih. Jika ideologi dipahami dalam pengertian nilai-nilai positif yang mampu menjadi rujukan perbaikan situasi dan perbaikan sistem bernegara, spirit ini terekspresikan nyata di kesadaran pemilih. Misalnya, klaim-klaim elite parpol yang memproduksi sentimen SARA dan ditebarkan kepada pemilih tak begitu saja diterima. Sekalipun sentimen parokial dan komunalitas berpengaruh, tetapi ternyata tidak signifikan. Keempat, bagaimanapun, peran media sosial sangat efektif menjadi mesin pencitraan untuk membantu memopulerkan kandidat. Daya jangkau media sosial, khususnya di DKI Jakarta, bukan saja di wilayah elite dan kelas menengah, juga di akar rumput. Simbol, jargon, lagu, video, dan beragam instrumen diproduksi jadi jembatan penghubung, memudahkan pemilih berimajinasi dan mengasosiasikan pada kandidat tertentu. Peran instrumen ini ternyata mempercepat rayapan dukungan pemilih dan partisipasi mereka dalam pilkada. Bahan refleksi Seni berpolitik memang tak punya rumusan baku yang bisa diterapkan dan dipraktikkan secara generik. Namun, dari pengalaman di atas, setidaknya dapat dijadikan bahan refleksi untuk mendorong agar kita segera berbenah menghadapi situasi penyusutan kualitas demokrasi yang kian memprihatinkan. Tentu saja pengalaman itu berguna untuk pendidikan politik bagi masyarakat. Namun, yang lebih penting dari itu adalah keharusan parpol untuk segera berbenah diri agar tidak terus ditinggalkan pemilihnya. Sejarah mencatat, reformasi 1998 digerakkan aktivis mahasiswa didukung para cendekiawan bersama rakyat, sementara buah reformasi sebagian besar dinikmati oleh politisi parpol. Namun, melihat sejumlah kecenderungannya, sejarah bisa berbalik, di mana reformasi bisa juga menggulung dan mengubur parpol jika mereka tidak berubah. Arie Sujito Dosen Sosiologi Politik UGM

Minggu, 09 Desember 2012

Negara Jangan Kerdil Sikapi Warga Ukraina yang Ditangkap di Papua

Penulis : Astri Novaria Media Indonesia, Minggu, 02 Desember 2012 20:40 WIB JAKARTA--MICOM: Kehadiran warga Ukraina, Arten Shapirenko di perayaan hari ulang tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM) membawa pertanyaan di publik. Apakah ada keterlibatan pihak asing dalam aksi kekerasan yang terjadi di Papua selama ini? Pengamat Politik Universitas Gajah Mada (UGM) Arie Sujito menilai kehadiran warga Ukraina, Wanipenko Shapirenko, di perayaan hari ulang tahun Organisasi Papua Merdeka sebaiknya tidak dijadikan kesimpulan. Tetapi, lanjutnya, digunakan sebagai informasi yang perlu didalami oleh aparat kepolisian. "Menurut saya itu dijadikan data saja. Nah, kesimpulan komprehensifnya tergantung temuan dari aparat kepolisian. Harus di kroscek dulu, didalami siapa dia di balik ini," ujar Arie saat dihubungi Media Indonesia, Minggu (2/12). Arie mengatakan, negara tidak boleh menilai ini dengan pendekatan yang kerdil. Dan juga, dia berpendapat, terkait konflik yang masih marak di Papua jangan seperti pemadam kebakaran, dimana ada konflik lalu reaksi dari Pemerintah pun juga sederhana itu saja. "Harusnya negara pakai pendekatan resolusi konflik. Harus berkesinambungan menangani konflik ini Kalau sikapnya masih seperti pemadam kebakaran, masalah ini akan terus ada," tandasnya. Pemberitaan sebelumnya, Wanipenko Shapirenko telah ditangkap oleh polisi dari satuan Kepolisian Resort Manokwari dekat Kantor Dewan Adat Papua wilayah III Kepala Burung, Sabtu (1/12) kemarin. Penangkapan itu terjadi usai sejumlah massa merayakan perayaan hari kelahiran OPM dan sempat ditentang warga papua disana. (*/OL-8) "http://www.mediaindonesia.com/read/2012/12/12/367110/290/101/-Negara-Jangan-Kerdil-Sikapi-Warga-Ukraina-yang-Ditangkap-di-Papua">

Jumat, 23 November 2012

Sang Surya Tiada Henti Menyinari

Kompas, Jumat,23 November 2012 MILAD MUHAMMADIYAH KOMPAS/LUCKY PRANSISKA Simpatisan dan anggota Muhammadiyah memeriahkan peringatan satu abad Muhammadiyah di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (18/11). Acara dibuka Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dan dihadiri wakil presiden ke-10 RI, Jusuf Kalla, Ketua DPD Irman Gusman, dan Gubernur DKI Joko Widodo. Ilham Khoiri ”Kami tetap konsisten dan istikamah pada jati diri Muhammadiyah...,” M Din Syamsuddin, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menyuarakan tekad organisasi yang dipimpinnya dengan suara lantang. Pidato itu sontak disambut teriakan sekitar 100.000 anggota Muhammadiyah yang memenuhi Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) di Senayan, Jakarta, Minggu (18/11) pagi. Hujan deras yang tiba-tiba turun di tengah acara tak menyurutkan semangat hadirin. Mereka adalah pengurus, mahasiswa, siswa, atau pegiat Muhammadiyah dari sejumlah daerah dan Ibu Kota yang tiba sejak subuh. Perayaan serupa juga digelar di sejumlah kota dengan berbagai variasi acara, seperti di Makassar, Malang, dan Yogyakarta. Kemeriahan itu sepadan hari istimewa yang sedang dirayakan: milad (kelahiran) Muhammadiyah 100 tahun silam. Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada 18 November 1912. Kembali ke pidato Din, sebenarnya apa jati diri Muhammadiyah? Merujuk pada gagasan dan gerakan Kiai Haji Ahmad Dahlan, sang pendiri, organisasi itu dibangun untuk melakukan tajdid (pembaruan) dalam berbagai aspek kehidupan. Melawan kejumudan pemikiran, Muhammadiyah mengobarkan semangat ijtihad dengan rujukan Al Quran dan Hadis, seraya meninggalkan takhayul, bidah, dan khurafat. Keterbelakangan peradaban diatasi dengan membangun pendidikan modern. Kemiskinan diatasi dengan menggalakkan usaha sosial-ekonomi. Rumah sakit dan klinik dibangun demi menyehatkan masyarakat. Muhammadiyah terus tumbuh menjadi organisasi Islam modern dengan jaringan kuat dan luas. Organisasi itu mampu melewati saat-saat sulit pada masa penjajahan, bahkan berperan penting dalam kemerdekaan. Bisa bertahan hingga sekarang tentu prestasi luar biasa. Namun, setelah zaman berubah, Muhammadiyah dituntut untuk lebih kreatif dalam mengembangkan visi pencerahannya. Kini bangsa Indonesia bergulat dengan proses demokratisasi yang demikian terbuka, sementara globalisasi mendesakkan liberalisme pasar ke penjuru dunia. Saat bersamaan, muncul kelompok-kelompok keagamaan fundamentalis yang gemar melancarkan kekerasan dan aksi intoleran. Menurut Jusuf Kalla, wakil presiden ke-10 RI, yang hadir dalam acara itu, Muhammadiyah telah memberikan pengabdian luar biasa bagi bangsa dan diharapkan terus menebarkan kebaikan. Perayaan milad 100 tahun, kata KH Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum PBNU, menempatkan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam besar tertua di Indonesia. Apa yang diharapkan dari Muhammadiyah? Menurut dosen Sosiologi Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Arie Sujito, Muhammadiyah didesak untuk mendorong transformasi etika dan moralitas politik dalam demokrasi untuk kesejahteraan. Muhammadiyah perlu melakukan gerakan antikorupsi, pendidikan pluralisme, dan kampanye politik bersih. Hal itu penting untuk mencerahkan dominasi perilaku partai politik yang kian pragmatis, dangkal, dan hanya memikirkan kelompok. Krisis bangsa ini membutuhkan kerelaan ormas untuk bekerja keras agar cita-cita pemberdayaan bangsa tercapai. Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, menilai, Muhammadiyah menghadapi godaan politik besar. Ini terkadang menyeret organisasi itu masuk ke dalam ranah politik praktis yang justru tidak menguntungkan. Padahal, seharusnya lembaga ini netral secara politik dan menjadi kekuatan sosial keagamaan dan penjaga moral. Amar makruf nahi mungkar (perintah untuk mengerjakan perbuatan yang baik dan larangan mengerjakan perbuatan yang keji) perlu terus didengungkan di tengah-tengah kemerosotan moral dan etika. ”Muhammadiyah memiliki tugas mulia untuk ikut mencerdaskan bangsa dan menyejahterakan masyarakat,” katanya. Di atas semua itu, pengamat politik dan keagamaan Fachry Ali mengingatkan, agar Muhammadiyah terus menyegarkan visi pembaruan pemikiran keagamaan. Sejumlah tokoh pembaru Islam justru muncul dari luar, seperti Harun Nasution dengan gagasan rasionalisme Islam, KH Abdurrahman Wahid dengan ”pribumisasi” Islam, atau Nurcholis Madjid dengan pemikiran keislaman dan keindonesiaan. Secara pribadi, seorang kader Muhammadiyah, Moeslim Abdurrahman, telah mengembangkan teologi sosial al-maun, semacam konsep pemikiran praksis sosial keagamaan untuk memberdayakan kaum pinggiran. Namun, pembaruan belum dilakukan secara kelembagaan. Bagaimana Muhammadiyah menjawab tantangan demikian? Din Syamsuddin menyadari, perubahan zaman melahirkan geopolitik, sosial, ekonomi, dan budaya yang berbeda. Muhammadiyah berusaha menghadapi semua itu dengan penyesuaian diri. Ke dalam, Muhammadiyah bertekad untuk menguatkan kembali etos organisasi. ”Ke luar, Muhammadiyah harus mengambangkan diri demi memberikan sumbangan pemikiran dan gerakan untuk bangsa Indonesia, umat Islam, dan dunia. Kami harus menjadi rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semesta),” katanya. Hujan terus mengguyur GBK di Senayan. Tiba-tiba, listrik padam sehingga acara terpaksa mandek di tengah jalan. Namun, ratusan ribu anggota Muhammadiyah tetap setia menunggu. Sejumlah anak muda berlari-lari ke tengah lapangan sambil membentangkan spanduk besar bertuliskan tema milad seabad, ”Sang Surya Tiada Henti Menyinari" http://cetak.kompas.com/read/2012/11/19/03190996/sang.surya.tiada.henti.menyinari

Sabtu, 29 September 2012

Benahi Ibukota, Jokowi Harus Pelajari Kultur Birokrasi Jakarta

Senin, 24/09/2012 10:05 WIB
Novi Christiastuti Adiputri - detikNews

Jakarta Terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta menurut quick count sejumlah lembaga survei, Jokowi menghadapi tantangan yang besar untuk membenahi Ibukota. Langkah awal yang harus dilakukan Jokowi ialah mengenali medan area kerja, terutama kultur birokrasi di Jakarta.

"Salah satu hal yang harus dilakukan gubernur yang baru yaitu harus mengenali medan area dan kultur birokrasi," ujar pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, dalam perbincangan dengan detikcom, Minggu (23/9/2012) malam.

Arie menilai, kultur masyarakat di wilayah yang baru lebih mudah dipelajari dan dipahami, terutama melalui proses-proses sosial. Namun jika menyangkut birokrasi yang menjadi tipologi pemerintahan suatu daerah, seringkali membutuhkan pengenalan dan pemahaman lebih.

"Secara sumber daya sudah punya, soal budget mudah dipelajari. Yang sulit itu memahami kultur birokrasi seperti apa," tuturnya.

Terlebih birokrasi yang akan dipimpin oleh Jokowi nantinya merupakan peninggalan dari gubernur sebelumnya, yakni Fauzi Bowo. Biasanya orang baru akan sedikit kesulitan memimpin dan mengatur anak buah yang mungkin masih loyal dengan pemimpin sebelumnya.

"Pemimpin lama memang meninggalkan bekas dan ikatan yang kuat. Mental ini harus diubah. Birokasi itu tumpuannya sistem, bukan orang. Kalau sistemnya baik, orangnya ganti tidak ada masalah. Bukan melayani atasan tapi melayani masyarakat," cetus Arie.

Oleh karena itu, Jokowi harus mampu mempelajari dan menjadikan para birokrat sebagai mitra kerjanya yang sinergis.

Terutama, karena sejumlah target kerja gubernur senantiasa bersentuhan dengan perangkat birokrasi. Seperti target soal pengentasan kemiskinan dan kemacaten, Jokowi harus memiliki rute memadai dan strategi tertentu.

"Dengan mempelajari, bisa diketahui lelet di level apa, punya treatmant yang berbeda-beda. Di Indonesia kan selalu konservatif dan lamban," tandasnya.
http://news.detik.com/read/2012/09/24/100517/2031736/10/benahi-ibukota-jokowi-harus-pelajari-kultur-birokrasi-jakarta

Jadi Ketua Fraksi, Saatnya Hidayat Tampil

Sabtu, 22 September 2012, 05:00 WIB REPUBLIKA.CO.ID,Beberapa bulan terakhir, salah satu tokoh politik di negara ini, Hidayat Nur Wahid (HNW), menjadi bahan pembicaraan publik. Dimulai dari “keikhlasannya” untuk dicalonkan menjadi calon gubernur (Cagub)DKI Jakarta hingga akhirnya kembali didudukkan sebagai Ketua Fraksi PKS DPR RI. Sejumlah pihak menganggap, posisi yang ditawarkan kepada Hidayat memang terasa tidak “pas”. Hidayat pada dua pemilu sebelumnya sempat digadang-gadang untuk dicalonkan sebagai calon presiden atau setidaknya wakil presiden dari PKS. Tapi, kemudian publik dibuat terperangah karena PKS tiba-tiba mencalonkannya sebagai cagub dalam Pemilukada DKI Jakarta. Padahal, sebelumnya nama kader PKS, Triwisaksana, yang banyak disebut akan dicalonkan PKS. Kali ini publik dibuat kaget dengan ditempatkannya Hidayat sebagai ketua Fraksi PKS DPR. Banyak yang menganggap bahwa posisi ini tidak pas untuk Hidayat, mengingat sebelumnya Hidayat pernah menduduki posisi ketua MPR RI. Pengamat politik Universitas Gajah Mada Arie Sudjito menilai, pengangkatan ini sengaja untuk memberi “panggung” dan ruang yang lebih luas bagi Hidayat untuk menghadapi Pemilu 2014 mendatang. “Saya pikir memang HNW sengaja diberi panggung untuk melihat elektibilitas publik terhadap HNW,” kata Arie Sudjito, Jumat (21/9). Arie menambahkan, bukan tidak mungkin pengangkatan Hidayat sebagai Ketua Fraksi PKS DPR ini berkaitan dengan kandidat calon presiden (capres) alternatif yang akan diajukan PKS pada 2014 mendatang. Sebelumnya sempat terdengar, PKS akan mencalonkan Luthfi Hasan Ishaaq sebagai capres dari PKS. Dengan menjadi ketua fraksi, PKS akan melihat sejauh mana respons publik terhadap sosok Hidayat. Jika respons publik terhadap Hidayat cukup besar, PKS memiliki pilihan lain yang akan diajukannya sebagai capres. Selain itu, menurut dia, keberadaan Hidayat di DPR juga untuk menyatukan faksi-faksi yang sempat terjadi di tubuh internal PKS sendiri. Pada beberapa kasus, tidak bisa dimungkiri adanya perpecahan di tubuh PKS. Ia menyebutkan beberapa kasus yang membuat perpecahan di tubuh PKS, seperti kasus kriminalisasi mantan anggota DPR, Misbakhun, sikap PKS dalam kasus Century, dan posisi PKS dalam pemerintahan. Sosok Hidayat yang cukup disegani di PKS diyakini akan menyatukan faksi-faksi di tubuh PKS untuk menghadapi 2014. Redaktur: M Irwan Ariefyanto Reporter: Bilal Ramadhan

Selasa, 18 September 2012


Rabu, 05/09/2012 08:42 WIB

Mungkinkah Presiden PKS Luthfi Hasan Jadi Capres 2014?

Rachmadin Ismail - detikNews
Jakarta Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tak mau kalah dengan partai lain yang sudah mendeklarasikan sejak awal calon presiden mereka. PKS mencalonkan sang presiden partai Lutfhi Hasan Ishaaq. Bagaimana peluangnya?

Pengamat politik dari Universitas Gajah Mada (UGM) Arie Sudjito menilai, Luthfi berpeluang kecil maju sebagai capres yang diusung PKS. Pada Pemilu 2014 nanti, PKS kemungkinan besar masih jadi partai medioker, belum masuk jajarang elite yang bisa mengusung calon sendiri.

"Sebenarnya, PKS tahu Luthfi tidak akan menjadi capres. Mereka hanya ingin menyampaikan ke publik kalau punya calon. PKS punya kapasitas," kata Arie saat berbincang lewat telepon, Rabu (6/9/2012).

Sebagai partai yang duduk di parlemen, PKS jelas ingin punya calon sendiri dari internal sebagai capres. Mereka tak mau kalah dengan partai lain seperti Gerindra, Hanura, PAN dan Golkar yang sudah jauh-jauh hari mengusung nama capres.

"Saya yakin PKS juga masih belum bisa mengkalkulasi bagaimana peluang Luthfi ke depan. Ini bagian dari membangun image, bahwa kami eksis," terangnya.

Secara matematis, peluang Luthfi jadi capres 2014 memang agak sulit. PKS harus kerja keras mendapat kursi mayoritas di parlemen. Mereka harus bersaing dengan partai-partai nasionalis lain yang juga sudah menarik ancang-ancang sejak lama.

"Sekali lagi, ini masih panjang. Jadi bursa ini belum tentu laku juga. Bisa jadi ada yang beli. Ada juga yang diskon atau tidak," analisanya.

Luthfi Hasan Ishaaq MA merupakan Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera periode 2009 - 2014. Saat ini dia juga menjabat sebagai anggota DPR dari Fraksi PKS periode 2009 - 2014.

Lulusan Punjab University, Pakistan, dan mengambil gelar master dalam program Islamic Studies ini menguasai beberapa bahasa. Selain itu, Luthfi juga pernah tinggal di Belanda selama beberapa tahun ketika itu mantan Sekjen Parta Keadilan (PK) semasa kepemimpinan Nur Mahmudi Ismail ini bertugas sebagai supervisor pengembangan PKS di Eropa.

Luthfi juga merupakan salah satu pendiri PK pada tahun 1998 yang merupakan cikal bakal dari PKS.

(mad/ndu)

http://regional.kompas.com/read/2012/08/24/0217266/Urbanisasi.Tak.Selalu.Merugikan
KEPENDUDUKAN
Urbanisasi Tak Selalu Merugikan
Jumat, 24 Agustus 2012 | 02:17 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah masih menganggap urbanisasi sebagai ancaman kenyamanan penduduk kota. Permukiman kumuh, semrawutnya kota, hingga kriminalitas sering dikaitkan dengan warga dari daerah. Padahal, kehadiran orang desa tetap menguntungkan kota.
”Pengelolaan kota eksklusif, memandang kota hanya dibesarkan oleh dirinya sendiri. Padahal, orang kota tidak bisa berbuat banyak tanpa orang desa,” ujar sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (23/8).
Pekerja rumah tangga, sopir, tukang sampah, tukang sapu, dan buruh pabrik adalah sebagian pekerjaan yang digeluti warga dari desa. Ketiadaan mereka selama mudik Lebaran terbukti memusingkan warga kota.
Kedatangan warga desa ke kota-kota besar seusai Lebaran seharusnya memberi dampak positif jika pemerintah kota punya rencana mengelola mereka. Pengerahan Satuan Polisi Pamong Praja untuk menyisir dan memulangkan pendatang tak akan pernah efektif selama pemerataan pembangunan dan penyediaan lapangan kerja di desa atau kota kecil tak pernah dilakukan.
Ketua Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Sonny Harry B Harmadi mengatakan, saat ini 54 persen penduduk Indonesia tinggal di kota. Selain akibat urbanisasi, banyak desa juga telah berkembang menjadi kota.
”Lebih banyaknya penduduk yang tinggal di kota sebenarnya pertanda baik. Artinya, makin banyak warga yang menikmati infrastruktur memadai,” katanya.
Namun, itu hanya terjadi di kota-kota yang sedang berkembang selain Jakarta. Jakarta sudah jenuh. Akibatnya, kualitas hidup mereka yang tak mampu bersaing di Jakarta justru lebih rendah dibandingkan dengan orang desa.
Untuk mencegah makin derasnya urbanisasi, lanjut Sonny, Pemerintah Jakarta perlu bekerja sama dengan paguyuban-paguyuban warga pendatang. Imbauan untuk tidak pindah ke kota harus terukur, didasari fakta berapa banyak pendatang yang berhasil di Jakarta setiap tahun.
Arie menambahkan, kreativitas warga desa perlu dikembangkan hingga mampu berinovasi di tengah keterbatasan sumber daya ekonomi desa. Pemerintah daerah harus berupaya agar daerahnya nyaman secara sosial dan ekonomi hingga masyarakat betah tinggal di desa. (MZW)